Oleh: Siti Hajar
Entah mengapa, aku
selalu ingin kembali ke Sabang. Pulau yang eksotis dengan pantai-pantai indah
dan laut biru yang menenangkan. Bukan hanya soal panorama dan kenyamanan, tapi
juga senyuman hangat warganya yang selalu menyambut dengan tulus. Dan ada satu
hal lagi yang sulit kudefinisikan—daya tarik yang membuat hati bergetar setiap
kali matahari perlahan terbit di balik cakrawala. Pagi itu, aku memilih singgah
di Pantai Anoi Itam, pantai berpasir hitam legam yang unik dan jarang ditemukan
di tempat lain.
Nama Anoi
Itam sendiri berarti “pasir hitam”. Dari kejauhan, hamparan pasirnya
tampak kontras dengan laut biru yang membentang luas. Dulu saat pertama kali
menjejakkan kaki, aku langsung terpesona. Pasir hitamnya terasa lebih padat
dibanding pasir putih, seakan menyimpan sejarah panjang dari aktivitas vulkanis
masa lalu. Udara pagi masih sejuk, dengan angin laut yang membawa aroma asin
khas pesisir.
Sekitar pukul
06.15, langit masih berwarna biru pucat. Aku bersama suamiku-Bang Budy siap
dengan ponsel sederhana berdiri di tepi tebing memandang langsung ke arah langit
yang perlahan mulai mengeluarkan semburat jingga yang makin lama nampak jelas.
Nelayan dengan
perahu kayu sederhana sudah berlabuh, menunggu waktu yang tepat untuk kembali
melaut. Pemandangan itu terasa begitu syahdu, apalagi ketika di kejauhan sebuah
kapal besar perlahan melintas di teluk Sabang, seakan mengingatkan aku bahwa
pulau kecil ini sebenarnya punya peran penting dalam jalur laut dunia.
Lalu momen yang
paling ditunggu pun tiba. Pukul 06.30, cahaya keemasan menembus perlahan,
menciptakan kilau yang memantul di permukaan laut. Matahari muncul bulat
sempurna, seperti bola api yang bangkit dari dalam samudera. Aku terdiam
beberapa menit, hanya menikmati detik-detik itu. Ada rasa damai yang sulit
dijelaskan—seakan Sabang sedang membuka pintu rahasia untuk menyapa setiap jiwa
yang mau meluangkan waktu menunggu fajar.
Tak jauh dari
pantai, kami berjalan menuju Benteng Jepang. Bangunan tua peninggalan
Perang Dunia II ini berdiri kokoh meski sebagian temboknya telah ditelan lumut.
Di dalamnya, suasana terasa dingin dan agak gelap. Dari lubang-lubang sempit di
dinding benteng, aku melihat kembali laut Anoi Itam. Sulit membayangkan betapa
tegangnya suasana di masa lalu ketika tentara Jepang berjaga di tempat ini,
waspada terhadap serangan musuh. Kini, yang tersisa hanyalah sunyi dan udara
asin laut, namun justru itulah yang membuatnya terasa begitu berharga—sebuah
pengingat akan betapa strategisnya Sabang di masa lampau.
Usai menapaki jejak sejarah, aku melanjutkan perjalanan sekitar dua puluh menit menuju The Freddies at Sabang (Ie Meule). Tempat ini sering direkomendasikan wisatawan mancanegara, dan memang wajar. Dari teras kayu yang sangat alami menghadap langsung ke laut, pemandangannya luar biasa indah. Ombak berkejaran di bawah, langit biru tanpa batas di atas. Ada suasana romantis yang sulit ditemukan di tempat lain—tenang, alami, dan hangat. Duduk di sana sambil menikmati kopi atau makan malam adalah pengalaman yang membuat waktu berjalan lebih lambat. Banyak tamu yang mengatakan, The Freddies bukan sekadar penginapan, tapi rumah kecil di tepi pantai yang membuat siapa pun jatuh cinta pada Sabang.
Namun, sebuah
perjalanan tak pernah lengkap tanpa mencicipi kuliner lokal. Itulah mengapa kami
seringkali singgah di Rumah Makan Kencana, salah satu rumah makan
terkenal di Sabang. Di sini, aroma rempah-rempah Aceh langsung menyambut begitu
makanan tersaji. Aku memilih ikan bakar dengan bumbu pedas manis, lengkap
dengan sambal khas Aceh yang membuat lidah bergetar. Suap demi suap terasa
seperti cerita panjang: hasil laut segar yang dipadu dengan tradisi bumbu
Nusantara. Bagiku, menikmati makan siang atau makam malam di sini adalah bagian
dari perjalanan yang tak kalah penting dari menyaksikan sunrise atau menapaki
benteng tua di pulau Sabang.
Sabang selalu
punya cara untuk menggoda setiap orang yang datang. Di Anoi Itam, aku menemukan
ketenangan sekaligus energi baru dari detik-detik matahari terbit. Di Benteng
Jepang, aku diingatkan pada sejarah dan betapa pentingnya pulau ini bagi dunia.
Sementara di Rumah Makan Kencana, aku merasakan Sabang lewat cita rasa yang
membumi, masakan Nusantara hasil laut yang luar biasa. Masyaallah.
Semua itu adalah
potongan mozaik yang membentuk wajah Sabang. Sebuah pulau yang tidak hanya
menyajikan keindahan, tapi juga cerita, sejarah, dan rasa. Dan bagi siapa pun
yang datang, Sabang tidak pernah hanya menjadi tujuan wisata. Ia adalah
pengalaman—sebuah undangan untuk kembali, lagi dan lagi. Aku berharap kapanpun
kembali ke Sabang, Sabang harus terus seperti ini. Natural tanpa sentuhan
modernitas yang berarti. []
“Kalau kamu ke Sabang, jangan hanya mencari pantai berpasir putih. Cobalah datang ke Anoi Itam, karena di sana fajar terasa lebih dekat dengan jiwa kita.”