Jejak Ratu Safiatuddin, Ruang Budaya, dan Simbol Ketahanan Aceh


Oleh: Siti Hajar

Sri Ratu Safiatuddin adalah sosok perempuan tangguh yang tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin pertama Kesultanan Aceh Darussalam yang bergelar Sultanah. Ia naik takhta pada 5 Februari 1641, menggantikan suaminya, Sultan Iskandar Tsani, yang wafat tanpa meninggalkan putra mahkota. Dengan gelar penuh Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-A’lam Syah Johan, ia menjadi simbol kebangkitan peran perempuan dalam kepemimpinan, sesuatu yang jarang terjadi di dunia Islam pada masa itu.

Safiatuddin bukanlah sosok biasa. Ia lahir pada tahun 1612 sebagai putri Sultan Iskandar Muda—raja besar yang memerintah Aceh selama hampir tiga dekade—dan permaisuri Putri Sani Ratna Sendi Istana dari Pahang. Dari garis keturunannya, Safiatuddin mewarisi wibawa politik dan darah biru yang membuatnya pantas menduduki singgasana. Kehadirannya di puncak kekuasaan memperlihatkan bagaimana Aceh kala itu memberi ruang bagi perempuan untuk tampil sebagai pemimpin tertinggi.

Selama lebih dari tiga dekade masa pemerintahannya, Safiatuddin dikenal bijaksana dalam menjaga stabilitas kerajaan. Ia melanjutkan tradisi intelektual yang diwariskan ayahnya, menjadikan Aceh sebagai pusat keilmuan dan peradaban Islam. Para ulama besar, termasuk Syekh Abdurrauf as-Singkili, berkembang pada masanya, melahirkan karya-karya penting yang memengaruhi dunia Islam di Asia Tenggara. Kepemimpinan panjangnya menjadikannya salah satu penguasa perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara.

Sejarah mencatat, pada masa kepemimpinannya, Aceh tetap berdiri sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ulama besar seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili tumbuh pada masanya, melahirkan karya-karya penting dalam bidang tasawuf dan fiqh. Meski situasi politik global berubah dan Belanda mulai menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka, Safiatuddin mampu menjaga kestabilan kerajaan. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa memimpin sebuah negeri besar dengan martabat dan wibawa.

Dari Sejarah ke Simbol Modern

Nama besar sang ratu kemudian dikokohkan di Banda Aceh dengan didirikannya Taman Ratu Safiatuddin. Taman ini bukan sekadar ruang hijau, melainkan sebuah ikon budaya yang merangkum identitas seluruh daerah di Aceh. Pembangunannya bermula pada masa Gubernur Abdullah Puteh, dengan dorongan kuat dari sang istri, Ibu Marlinda Abdullah Puteh, yang kala itu menjabat Ketua Tim Penggerak PKK Aceh.

Visi mereka sederhana tapi besar: menghadirkan sebuah taman budaya layaknya "Taman Mini" versi Aceh. Di dalamnya dibangun anjungan rumah adat dari seluruh kabupaten/kota di Aceh. Setiap anjungan memamerkan keunikan arsitektur daerah masing-masing, kebanyakan berupa rumah panggung kayu khas Aceh yang kokoh berdiri tanpa paku. Dalam satu kawasan, seolah seluruh Aceh berkumpul.

Taman ini mulai dibangun sekitar tahun 2002, dan akhirnya diresmikan pada 18 Agustus 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, bersamaan dengan pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-4. Sejak saat itu, Taman Ratu Safiatuddin menjadi pusat kegiatan budaya terbesar di Aceh.

PKA: Festival Besar Aceh

Sejarah PKA sendiri sudah ada sejak 1958, namun sempat berhenti karena konflik panjang di Aceh. Baru pada 2004, dengan hadirnya Taman Ratu Safiatuddin, kegiatan ini kembali digelar secara megah. Setiap lima tahun sekali, taman ini menjadi panggung besar yang menampilkan budaya, kreativitas, dan inovasi dari seluruh Aceh.

Sejak peresmiannya, taman ini telah menjadi tuan rumah lima kali PKA:

  • PKA-4 (2004) – Dibuka oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
  • PKA-5 (2009) – Dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
  • PKA-6 (2013) – Juga dibuka oleh SBY dengan tema Aceh Satu Bersama.
  • PKA-7 (2018) – Menyatukan Aceh pasca rekonsiliasi dan pemulihan bencana.
  • PKA-8 (2023) – Mengusung tema “Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia,” menjadi momentum besar memperkenalkan Aceh ke panggung global.

Bagi masyarakat, PKA bukan sekadar pesta budaya. Ia adalah ruang silaturahmi, tempat di mana setiap daerah menunjukkan kebanggaan identitasnya. Pawai, tari-tarian, kuliner, hingga produk inovasi modern semuanya hadir. Suasana PKA membuat Banda Aceh seakan hidup 24 jam penuh warna, musik, dan persaudaraan.

Tsunami 2004: Luka dan Harapan

Namun, sejarah mencatat bahwa hanya beberapa bulan setelah peresmian taman, Aceh diguncang bencana maha dahsyat. Tsunami 26 Desember 2004 meluluhlantakkan Banda Aceh dan sebagian besar pesisir provinsi. Ratusan ribu nyawa melayang, dan banyak infrastruktur hancur.

Taman Ratu Safiatuddin pun tidak lepas dari ujian. Beberapa anjungan rusak, namun sebagian besar bangunan tetap berdiri karena struktur rumah adat kayu yang kokoh. Ironisnya, taman yang baru saja diresmikan itu seakan langsung diuji oleh sejarah. Dari sanalah kemudian muncul makna baru: taman ini bukan hanya tempat berkumpulnya budaya, tapi juga simbol ketahanan Aceh. Ia berdiri sebagai saksi bagaimana masyarakat bangkit dari puing-puing bencana, menjaga warisan, dan tetap melanjutkan hidup.

Setelah tsunami, setiap kali PKA digelar, taman ini menjadi lebih dari sekadar panggung budaya—ia menjadi monumen ketangguhan. Aceh menunjukkan kepada dunia bahwa meski pernah dirundung musibah besar, masyarakatnya tetap mampu merajut kebersamaan dan mempertahankan jati diri.

Ruang Budaya dan Simbol Identitas

Kini, jika kita berjalan-jalan di Taman Ratu Safiatuddin, kita bisa menyaksikan Aceh dalam miniatur. Setiap anjungan bercerita tentang daerah asalnya: rumah adat Gayo yang menjulang, rumah Aceh Besar dengan ukiran khas, hingga rumah Pidie dengan detail arsitektur penuh filosofi. Di sela-sela itu, ada panggung pertunjukan, galeri, dan ruang pameran yang menampilkan seni dan karya modern.

Taman ini adalah ruang di mana masa lalu dan masa kini berjumpa. Dari nama yang diambil dari sosok ratu bersejarah, hingga fungsi modern sebagai pusat festival, semuanya menyatu dalam satu ruang.

Taman Ratu Safiatuddin bukan sekadar simbol penghormatan pada seorang ratu yang berjasa. Ia adalah titik temu bagi masyarakat Aceh untuk merayakan identitas dan kebanggaan mereka. Ia adalah ruang di mana sejarah, seni, dan kebersamaan dipelihara agar tidak lekang oleh zaman.

Lebih dari itu, taman ini juga menjadi simbol ketahanan. Dari peresmian megah pada 2004, diterpa tsunami beberapa bulan kemudian, hingga kini terus menjadi pusat PKA, taman ini mengingatkan kita bahwa Aceh adalah tanah yang tidak pernah menyerah. Seperti sosok Ratu Safiatuddin yang teguh di masa lalu, masyarakat Aceh pun tetap berdiri tegak di masa kini.

Lebih baru Lebih lama