Jejak Embarkasi Haji di Sabang

 

Oleh: Siti Hajar

Sejarah perjalanan haji dari Aceh bukan sekadar catatan keagamaan, melainkan kisah panjang tentang kegigihan, diplomasi, dan jejak peradaban Islam di ujung barat Nusantara. Jauh sebelum pesawat modern mengangkut ribuan jamaah dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh telah dikenal sebagai gerbang awal umat Islam Asia Tenggara menuju Tanah Suci.

Jejak Awal: Lima Kapal dari Aceh ke Jeddah Abad ke-17

Pada awal abad ke-17, tepatnya sekitar tahun 1620-an hingga 1630-an, sejarah mencatat bahwa Kesultanan Aceh Darussalam mengirim lima buah kapal laut menuju pelabuhan Jeddah, yang menjadi pintu masuk ke Mekkah. Pengiriman ini terjadi di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, sosok penguasa besar yang menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan, dakwah, dan pendidikan Islam.

Kelima kapal itu membawa rombongan jamaah haji dari Aceh. Walaupun tidak ada angka pasti, berdasarkan ukuran kapal zaman itu yang mampu memuat 80–150 orang, diperkirakan sekitar 400 hingga 750 jamaah turut serta dalam perjalanan laut penuh risiko tersebut. Mereka menyeberangi Samudra Hindia, menyusuri pantai India, dan masuk ke Laut Merah sebelum akhirnya berlabuh di Jeddah.

Perjalanan ini bukan hanya ekspedisi spiritual, tetapi juga simbol hubungan erat antara Aceh dan dunia Islam, termasuk Kesultanan Utsmaniyah di Turki. Catatan sejarah menyebut bahwa para jamaah Aceh disambut hangat di Tanah Suci, karena berasal dari kerajaan Islam yang dikenal kuat dan loyal terhadap pusat kekhalifahan Islam.

Sabang dan Pulau Rubiah: Embarkasi Haji Pertama di Indonesia

Ratusan tahun setelah itu, Aceh kembali mencatat sejarah penting dalam dunia perhajian Indonesia. Pada era kolonial Belanda dan masa awal kemerdekaan, pelabuhan Sabang—khususnya Pulau Rubiah—berfungsi sebagai pusat karantina dan embarkasi jamaah haji asal Sumatera dan kawasan timur nusantara.

Pulau Rubiah dipilih karena letaknya strategis dan terisolasi dari pemukiman padat, sehingga cocok sebagai tempat karantina guna mencegah penyebaran penyakit menular. Di pulau ini dibangun sejumlah infrastruktur lengkap, mulai dari barak penginapan, rumah sakit, fasilitas pemeriksaan kesehatan, hingga pelabuhan kecil tempat kapal haji bersandar.

Jejak peninggalan ini masih dapat ditemukan hingga kini, meski dalam kondisi yang memprihatinkan. Bangunan Karantina Haji di Pulau Rubiah adalah warisan sejarah penting yang nyaris dilupakan. Padahal, di sinilah para jamaah haji dahulu berkumpul, menunggu giliran berlayar ke Mekkah dengan kapal laut milik pemerintah kolonial, kemudian RI.

Selain itu, terdapat pula kawasan yang dikenal dengan nama Kampung Haji di Sabang. Daerah ini dulunya menjadi pusat aktivitas dan penginapan sementara bagi jamaah yang datang dari berbagai wilayah di Sumatera.

Pada era 1970-an, perubahan besar terjadi dalam dunia perhajian Indonesia. Jalur laut yang sebelumnya mendominasi, digantikan oleh jalur udara. Penerbangan langsung dari Banda Aceh atau Medan menuju Jeddah menjadi lebih lazim dan efisien, memangkas waktu tempuh dari berbulan-bulan menjadi hanya beberapa belas jam.

Namun demikian, kenangan tentang perjalanan panjang lewat laut tidak serta-merta lenyap. Banyak orang tua di Aceh masih mengenang saat mereka atau leluhur mereka berlayar selama berminggu-minggu, menghadapi ombak, doa panjang, dan harapan yang tak putus menuju rumah Allah.

Bangunan karantina haji di Pulau Rubiah dan situs embarkasi di Sabang kini banyak yang terbengkalai. Akses menuju lokasi pun sulit karena jalan setapak yang rusak dan semak belukar yang menutupi jejak sejarah. Padahal, nilai historis situs ini sangat tinggi dan bisa menjadi destinasi wisata religi dan edukasi sejarah yang luar biasa, baik bagi masyarakat Aceh maupun nusantara.

Aceh tidak hanya memiliki sejarah Islam yang kuat, tapi juga jejak peradaban yang pernah menjadi poros haji bagi Asia Tenggara. Dari lima kapal Sultan Iskandar Muda hingga embarkasi laut di Pulau Rubiah, dan kini bandara modern menuju Jeddah, semua ini menunjukkan satu benang merah: kerinduan panjang umat Islam Aceh menuju Baitullah.

Semoga jejak-jejak ini tidak hilang ditelan waktu, melainkan dikenang, dirawat, dan diwariskan pada generasi penerus—sebagai bukti bahwa dari ujung barat Nusantara, orang-orang berlayar bukan hanya membawa bekal dan doa, tapi juga menyusun sejarah. []

Lebih baru Lebih lama