Empat Pulau di Aceh Singkil yang Menggoda: Kisah Marwah yang Nyaris Tergadaikan

Oleh: Siti Hajar

Tahukah kamu bahwa pada satu hari di akhir April 2025, Aceh hampir kehilangan empat pulau yang ada di Aceh Singkil.

Empat titik kecil di atas peta bernama Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil sempat secara resmi dinyatakan sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Keputusan itu terbit dalam Kepmendagri No. 300.2.2‑2138/2025 tertanggal 25 April 2025. Tak banyak yang tahu, tetapi bagi sebagian orang yang peduli terhadap kedaulatan wilayah dan akar sejarah tanah airnya, ini bukan hanya soal pulau—ini soal identitas.

Pulau-Pulau Kecil yang Sangat Eksotik

Keempat pulau ini bukan sekadar tempat yang jauh dari jangkauan. Mereka adalah bagian dari denyut kehidupan masyarakat pesisir Aceh Singkil. Nelayan dari desa-desa di Aceh sudah turun-temurun menjadikan wilayah ini sebagai lokasi penangkapan ikan. Bahkan, dalam banyak perhelatan demokrasi, termasuk pemilihan umum, masyarakat di sekitar pulau tersebut terdaftar sebagai warga Aceh.

Namun, sejak 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang melibatkan berbagai lembaga seperti Kemendagri, BIG, dan TNI AL menemukan bahwa secara koordinat spasial, keempat pulau itu ternyata lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hasil analisis data dari 2017 hingga 2020 memperkuat temuan ini. Maka jadilah: pada 2025, keluar keputusan mengejutkan bahwa pulau-pulau itu masuk wilayah Sumut.

Ketika Peta Bicara dan Memenggal Marwah Diri

Kontroversi pun mencuat. Dari Banda Aceh hingga ke Senayan, suara protes menggema. Tokoh-tokoh Aceh menyuarakan, hak Aceh. Mereka menyebut keputusan itu sebagai bentuk penghilangan wilayah Aceh secara diam-diam. Tidak hanya dia—gelombang respons datang dari masyarakat sipil, tokoh agama, dan lembaga adat. Mereka menuntut satu hal: kembalikan pulau kami.

Kami tinggal di Aceh, sekolah anak kami di Aceh, berobat ke puskesmas Aceh, dan hidup sebagai orang Aceh. Mengapa tiba-tiba kami dipindah ke Sumut hanya karena titik koordinat?”
— Keluhan warga Pulau Mangkir Besar dalam sebuah wawancara lokal

Diplomasi Dua Gubernur di Tengah Badai Emosi

Isu ini bukan lagi sekadar sengketa administratif. Ia mulai menyerempet rasa keadilan, menyentuh memori historis, dan berpotensi menimbulkan konflik antarwarga. Maka pada tanggal 4 Juni 2025, dua gubernur—Bobby Nasution (Gubernur Sumut) dan Muzakir Manaf (Gubernur Aceh)—duduk bersama di Banda Aceh. Mereka berdiskusi panjang soal nasib empat pulau yang memantik polemik.

Alih-alih mempertahankan ego provinsi, keduanya sepakat untuk mencari jalan damai. Namun, keputusan akhir tetap di tangan orang nomor satu negeri ini.

Presiden Turun Tangan

Mendengar kegaduhan ini, Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung. Beliau mengumpulkan para pihak di Istana dan mendalami persoalan dari sisi hukum, sosial, dan keamanan. Maka pada tanggal 17 Juni 2025, keluar keputusan final yang menyegarkan hati warga Aceh:

Akhirnya Empat pulau tersebut dikembalikan ke Aceh

Sehari setelahnya, tanggal 18 Juni 2025, dilakukan penandatanganan revisi batas wilayah antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, disaksikan langsung oleh pihak Kementerian Dalam Negeri dan Presiden. Indonesia menyaksikan—satu persoalan yang nyaris menjadi bara, padam dengan kehormatan dan semangat persaudaraan.

Lebih dari Sekadar Pulau Ini Harga dan Marwah Diri

Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa wilayah bukan sekadar garis di atas peta. Ia adalah tentang harga dan marwah Diri, in tentang tempat tinggal, ruang hidup, ruang ibadah. Keempat pulau yang nyaris hilang dari pangkuan Aceh itu bukan milik peta, bukan milik para pemegang kekuasaan, tapi milik rakyat yang menjaganya dengan perahu-perahu kecil, dengan anak-anak yang bersekolah setiap pagi, dengan semangat yang tak pernah menyerah walau terancam dipisahkan dari akar mereka.

Catatan Kecil untuk Masa Depan

Kisah empat pulau ini adalah pengingat bahwa bangsa ini besar bukan karena garis batasnya yang kaku, tetapi karena kelenturan jiwa para pemimpinnya dan keberanian warganya menjaga warisan leluhur.

Hari ini, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil telah pulang. Tapi pekerjaan belum selesai. Aceh—dan juga seluruh provinsi di Indonesia—perlu menata ulang kembali data batas wilayah, memverifikasi pulau-pulau kecilnya, dan menjaga dengan teliti agar tak ada lagi rumah yang hilang karena sunyinya perhatian kita.

Dan untuk para nelayan, anak-anak sekolah di Singkil, dan semua yang pernah menatap cakrawala dari dermaga empat pulau itu, kami tahu—kalian tak pernah pergi. Hanya sempat diabaikan. Kini, tanahmu telah kembali. Selamat datang di rumah, wahai empat pulau kecil, empat titik cahaya yang sempat redup namun tak pernah padam.

Ditulis dengan cinta untuk Aceh, Indonesia, dan semangat yang tak mudah diukur dengan peta,  untukmu yang peduli. []

 

Lebih baru Lebih lama