Jenderal Kohler, Masjid Raya Baiturrahman, dan Kerkhof Peutjoet: Tiga Titik Penting Sejarah Banda Aceh

 

Oleh: Siti Hajar

Banda Aceh merupakan kota dengan banyak peninggalan sejarah yang berkaitan langsung dengan masa kolonial Belanda, khususnya selama Perang Aceh (1873–1904). Tiga situs yang penting untuk dipahami dalam konteks sejarah tersebut adalah Masjid Raya Baiturrahman, Kerkhof Peutjoet, dan sosok Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler.

Artikel ini menyajikan keterkaitan ketiga elemen tersebut secara faktual berdasarkan sumber sejarah.

1. Jenderal Köhler dan Serangan Pertama Belanda ke Aceh (1873)

Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler merupakan komandan militer Belanda yang memimpin Ekspedisi Militer Pertama ke Aceh pada April 1873. Ekspedisi ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Belanda terhadap hubungan Kesultanan Aceh dengan negara-negara asing, termasuk Amerika Serikat dan Kesultanan Utsmaniyah, yang dianggap dapat mengganggu dominasi Belanda di kawasan Nusantara.

Pada 8 April 1873, Kohler dan pasukannya mendarat di Pantai Ceureumen, (Ulee Lheu)  melancarkan serangan ke pusat Kesultanan, termasuk wilayah Masjid Raya. Dalam pertempuran yang terjadi pada 10–14 April 1873, Kohler tertembak saat berada di halaman Masjid Raya Baiturrahman dan meninggal dunia pada tanggal 14 April 1873. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman militer Belanda Kerkhof Peutjoet.

Kematian Kohler menjadi peristiwa penting dalam sejarah Perang Aceh. Meskipun Belanda memiliki persenjataan modern, perlawanan dari pihak Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh ulama dan prajurit lokal sangat kuat.

2. Masjid Raya Baiturrahman: Simbol Kesultanan dan Target Serangan

Masjid Raya Baiturrahman awalnya dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636) sebagai pusat ibadah dan simbol kemegahan Kesultanan Aceh. Masjid ini merupakan pusat kegiatan keagamaan, pendidikan Islam, dan kekuasaan politik.

Pada serangan kedua Belanda pada 1874, masjid ini dibakar sebagai bagian dari taktik militer untuk melemahkan perlawanan rakyat Aceh. Tindakan ini memicu kemarahan besar dari masyarakat Aceh, karena masjid dianggap tempat suci dan lambang kebanggaan kolektif rakyat.

Sebagai bagian dari strategi kolonial untuk mengambil hati rakyat, pemerintah Hindia Belanda membangun kembali Masjid Raya pada tahun 1879, menggunakan desain arsitektur bergaya Indo-Saracenic (inspirasi dari arsitektur India Mughal). Arsiteknya adalah seorang Belanda bernama De Bruchi. Bangunan awal hanya terdiri dari satu kubah dan satu menara.

Seiring waktu, masjid ini diperluas hingga kini memiliki tujuh kubah, lima menara, dan halaman yang luas. Setelah tsunami 2004, masjid ini menjadi lokasi evakuasi dan perlindungan bagi ratusan korban, serta menjadi simbol kekuatan dan keteguhan Aceh.

Saat ini Masjid Raya telah memiliki 7 kubah dengan 12 payung yang mirip seperti di Masjid Nabawi, Madinah Arab Saudi.

3. Kerkhof Peutjoet: Pemakaman Tentara Belanda di Aceh

Kerkhof Peutjoet adalah kompleks pemakaman militer Belanda yang terletak di Gampong Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Kata "Kerkhof" berarti "kuburan" dalam bahasa Belanda, sedangkan "Peutjoet" diyakini berasal dari nama lokal anak dari sultan Iskandar Muda yang pertama kali dimakamkan di tempat ini.

Kerkhof Peutjoet dibangun oleh Belanda untuk memakamkan serdadu mereka yang gugur dalam Perang Aceh. Luas kompleks ini sekitar 3.000 m², dan berisi lebih dari 2.000 makam. Sebagian besar nisan diidentifikasi menggunakan nama dan pangkat militer, dan ditulis dalam bahasa Belanda.

Makam Mayor Jenderal Kohler adalah salah satu yang paling menonjol di area ini. Ia dikebumikan dengan batu nisan khusus, diberi pagar besi, dan sering menjadi titik kunjungan bagi warga Belanda yang ingin menelusuri jejak leluhurnya.

Kerkhof Peutjoet kini dikelola oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan organisasi Oorlogsgravenstichting (OGS) yang mengelola makam perang Belanda di seluruh dunia. Tempat ini terbuka untuk umum dan juga berfungsi sebagai lokasi edukasi sejarah.

Tiga Titik, Satu Narasi Sejarah

Ketiga entitas sejarah ini – Kohler, Masjid Raya Baiturrahman, dan Kerkhof Peutjoet – saling berkaitan erat dalam bingkai sejarah kolonialisme di Aceh.

  • Kematian Kohler menandai kegagalan awal ekspedisi kolonial Belanda.
  • Pembakaran Masjid Raya menunjukkan strategi penghancuran simbol budaya dan agama rakyat Aceh.
  • Kerkhof Peutjoet adalah dokumentasi konkret atas banyaknya korban jiwa di pihak kolonial selama perang berlangsung.

Melalui pemahaman terhadap situs-situs ini, masyarakat dapat melihat bahwa sejarah kolonialisme bukan hanya soal siapa yang datang menjajah, tetapi juga tentang bagaimana rakyat lokal mempertahankan identitas, keyakinan, dan wilayah kekuasaannya. []

Lebih baru Lebih lama