Oleh: Siti Hajar
Wisata laut Ujong Batee Terletak di Kecamatan
Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Pantai Ujong Batee adalah salah satu
destinasi wisata bahari yang menyimpan pesona alam dan nilai sejarah yang
menggetarkan hati. Berjarak sekitar 17 km dari pusat Kota Banda Aceh, pantai
ini dapat dijangkau dalam waktu 30–40 menit menggunakan mobil maupun sepeda
motor melalui Jalan Laksamana Malahayati.
Ujong Batee menyuguhkan hamparan pasir putih yang
halus, air laut jernih bergradasi biru kehijauan, serta deretan pohon cemara
yang rindang. Angin laut yang semilir, debur ombak yang lembut, dan pemandangan
alam yang memikat menjadikannya tempat ideal untuk melepas penat. Tersedia
pondok-pondok santai dan tempat duduk di sepanjang pantai untuk bersantai
bersama keluarga maupun teman.
Di sekitar pantai, Anda bisa menemukan berbagai
warung makan sederhana yang menyajikan aneka makanan laut segar, seperti ikan
bakar, cumi goreng, kerang saus, hingga minuman pelepas dahaga seperti air
kelapa muda. Suasana santai dengan aroma laut dan cita rasa khas pesisir
menjadikan kuliner di Ujong Batee pengalaman yang tak terlupakan.
Pantai ini sudah dilengkapi musala/mushalla untuk
keperluan ibadah, toilet umum, serta area parkir yang luas. Harga tiket masuk
pun sangat terjangkau, hanya sekitar Rp5.000 untuk sepeda motor dan Rp10.000
untuk mobil. Untuk toilet, tarifnya sekitar Rp2.000 sekali pakai.
Aktivitas yang Bisa Dilakukan di laut ini
diantaranya: Berenang di tepian laut dengan ombak yang relatif tenang. Berjalan
santai atau jogging di sepanjang pantai. Piknik bersama keluarga di bawah
rimbunnya pohon cemara. Di sini kita juga bisa mengabadikan foto dengan latar
belakang laut biru dan Batu Kapal Amat Ramanyang yang misterius.
Hal yang membedakan Pantai Ujong Batee dari pantai
lain adalah kehadiran sebuah batu besar yang mencuat dari laut, dikenal sebagai
Batu Kapal Amat Ramanyang. Batu ini dipercaya sebagai wujud dari kapal yang
dikutuk Tuhan menjadi batu, dalam legenda rakyat Aceh yang sangat mirip dengan
kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat.
Kamu pasti penasaran bagaimana cerita legenda Amat
Ramanyang, berikut kisah lengkapnya:
Legenda Amat Ramanyang, Doa Seorang Ibu di
Laut Ujong Batee
Ada kisah yang tak lekang oleh waktu di pesisir
Aceh, tepatnya di laut Ujong Batee, Aceh Besar.
Seorang anak hidup miskin bersama ibunya. Ayahnya
telah meninggal dunia saat sang anak berusia dua tahun karena ta’un—wabah
penyakit yang melanda kampung mereka. Anak itu bernama Amat Ramanyang.
Setiap hari, ibunya memasak kuah on murong
(daun kelor) dan telur bebek rebus. Itulah yang sering menjadi lauk makan
mereka, dan lambat laun menjadi makanan kesukaan Amat Ramanyang. Sederhana,
tapi penuh kasih.
Hingga suatu hari, terbersit di hati anak muda itu
keinginan untuk merantau ke negeri seberang. Ia ingin mengubah nasib dirinya
dan ibunda tercinta.
“Mak, izinkan aku untuk pergi merantau. Siapa tahu Allah mengubah nasib
kita. Kita akan hidup berkecukupan. Aku akan segera kembali ketika saatnya
tiba,”
kata Amat kepada ibunya.
“Baiklah, Nak, jika itu yang kamu inginkan. Tapi jangan lupa, segeralah
kembali. Ibumu sudah tua. Ibu akan sangat kesepian tanpa kamu. Semoga tercapai
apa yang kamu cita-citakan,”
jawab ibunya.
Doa itulah yang mengiringi keberangkatan Amat
Ramanyang, ditemani sebungkus nasi dengan kuah on murong dan telur
rebus.
Waktu kian berlalu. Amat Ramanyang tumbuh menjadi
pemuda yang tampan. Usaha dagangnya berkembang pesat. Ia berhasil mengumpulkan
harta yang melimpah. Benar saja, Allah mengabulkan doa ibunya. Kini ia telah
berjaya di perantauan, menjadi saudagar yang kaya raya. Seorang perempuan
cantik menjadi istrinya. Tambah semangatlah ia dalam berdagang.
Selang beberapa waktu, timbul keinginan untuk
pulang kampung. Terlintas di benaknya wajah ibunya.
“Adinda, besok kita akan berlayar ke kampung halamanku. Aku memiliki ibu
yang sudah tua. Entah bagaimana nasibnya kini,”
ucap Amat pada istrinya.
“Baik, Kakanda. Dinda menurut saja,”
jawab sang istri.
Berangkatlah Amat Ramanyang beserta rombongannya
menuju pesisir Aceh Besar. Ternyata, kabar kepulangan Amat Ramanyang sampai
juga ke telinga ibunya. Hatinya sangat gembira. Dengan susah payah, perempuan
yang kini mulai membungkuk itu menyiapkan sebungkus nasi, kuah on murong,
dan telur bebek kesukaan anaknya.
Dengan tergopoh-gopoh, ia mendekati kapal yang
berlabuh di kampungnya. Banyak orang berbondong-bondong ke sana. Mereka
penasaran: benarkah itu Amat Ramanyang, anak desa mereka yang telah merantau
sekian tahun lamanya?
Tiba di dekat kapal megah itu, sang ibu berteriak:
“Amat... Amat, ini Ibumu!”
Melihat seorang perempuan renta dengan pakaian
lusuh, Amat Ramanyang merasa malu. Apalagi di hadapan istrinya yang cantik dan
anggun.
“Apa? Kau ibuku? Maaf, aku tidak mengenalmu. Aku
tidak punya ibu yang buruk rupa dan hina sepertimu,”
kata Amat, dengan suara dingin.
“Ya Allah, benar, Nak. Ini Ibumu...”
Ibu Amat Ramanyang berkata dengan suara lirih, hampir seperti mengemis belas
kasih.
“Hah! Pergi kau, perempuan tua!”
Amat Ramanyang menendang bungkusan dari tangan ibunya.
Sedih bukan kepalang hati sang ibu diperlakukan
demikian oleh anaknya sendiri. Dengan kesedihan yang tak terperi, ia menengadah
dan berdoa kepada Allah:
“Ya Allah, jika dia benar anakku, dan ia telah
durhaka, maka tunjukkanlah kuasa-Mu...”
Sesaat kemudian, kilat menyambar. Petir
bergemuruh. Langit murka. Dalam sekejap, Amat Ramanyang beserta kapal megahnya
berubah menjadi batu.
Batu itu, hingga kini, masih bisa kita jumpai di
Laut Ujong Batee, di pinggir Jalan Malahayati, Aceh Besar. Sebagai pengingat
yang abadi, tentang seorang anak yang lupa daratan, dan doa seorang ibu yang
tak pernah kehilangan daya. []