![]() |
Sumber: Koleksi Pribadi Penulis |
Oleh: Siti Hajar
Di sebuah lahan hijau yang tenang di Gampong
Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, berdiri sebuah kubah besar berwarna
putih yang seolah tak lagi memiliki rumahnya. Kubah itu, yang dikenal sebagai Kubah
Masjid Al-Tsunami, bukanlah sekadar benda mati dari beton dan semen. Ia adalah
saksi bisu dari salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di abad ke-21: tsunami
Aceh 2004.
Dulu, kubah ini adalah bagian dari Masjid
Lamteungoh yang berdiri kokoh di Desa Lamteungoh. Namun, pada pagi naas 26
Desember 2004, bumi bergetar, laut bergemuruh, dan gelombang setinggi lebih
dari 30 meter menyapu daratan Aceh. Dalam hitungan menit, ribuan rumah, tempat
ibadah, dan nyawa manusia tersapu tanpa ampun. Masjid Lamteungoh ikut hancur
lebur. Yang tersisa hanyalah kubahnya—sebuah struktur seberat 80 ton dengan
ukuran 4×4 meter—yang kemudian terbawa arus sejauh 2,5 kilometer dan akhirnya
terdampar di area persawahan Gampong Gurah.
Bagi warga yang selamat, kubah ini bukan hanya
peninggalan fisik, tetapi juga simbol keajaiban. Bagaimana mungkin sebuah benda
seberat itu bisa berpindah sejauh itu tanpa hancur? Bagaimana alam dapat
membawa kubah ini hingga ke tempat yang begitu jauh? Tak sedikit yang
melihatnya sebagai tanda kebesaran Tuhan, pengingat bahwa di balik setiap
bencana, ada hikmah yang bisa dipetik.
Dari Peninggalan Tsunami ke Wisata Religi
Seiring waktu,
Kubah Masjid Al-Tsunami mulai menarik perhatian. Para wisatawan, jurnalis, dan peneliti dari dalam
maupun luar negeri datang untuk menyaksikan sendiri keajaiban ini. Pemerintah
dan masyarakat sekitar pun mulai mengembangkan kawasan ini sebagai destinasi
wisata religi.
Kini, di sekitar kubah telah dibangun fasilitas
pendukung, termasuk area parkir, kios-kios UMKM, serta sebuah masjid kecil yang
dapat digunakan untuk beribadah. Pengunjung yang datang tak hanya melihat kubah
sebagai artefak tsunami, tetapi juga sebagai tempat untuk merenung, mengingat
betapa dahsyatnya bencana itu, serta bersyukur atas kehidupan yang masih mereka
miliki.
Tempat Jajan dan Kuliner di Sekitar Kubah
Gurah
Bagi pengunjung yang ingin menikmati makanan
setelah berziarah, kawasan sekitar Kubah Masjid Al-Tsunami menyediakan beberapa
warung makan dan kios jajanan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Beberapa
jenis makanan dan minuman yang bisa ditemukan di sekitar lokasi antara lain:
- Mie Aceh dan Martabak – Salah satu hidangan khas
Aceh yang tersedia di beberapa warung sekitar area kubah.
- Kopi Aceh dan Teh Tarik – Minuman khas yang cocok
untuk menemani istirahat sejenak sambil menikmati suasana pedesaan.
- Aneka
Gorengan dan Kue Tradisional – Pisang goreng, timpan, dan kue-kue khas
Aceh lainnya bisa menjadi pilihan camilan bagi pengunjung.
- Air
Kelapa Muda – Dijual di beberapa kios untuk menyegarkan dahaga setelah
perjalanan menuju lokasi.
Tempat Ibadah di Area Kubah Masjid
Al-Tsunami
Selain menjadi destinasi wisata sejarah dan
religi, kawasan ini juga memiliki fasilitas ibadah yang memadai bagi para
pengunjung Muslim. Beberapa tempat ibadah yang tersedia di sekitar Kubah Gurah
meliputi:
- Masjid
di Kompleks Kubah Gurah – Masjid kecil yang dibangun berdekatan dengan
lokasi kubah, tersedia bagi pengunjung yang ingin menunaikan salat. Masjid
ini memiliki ruang wudu dan tempat salat yang cukup nyaman.
- Masjid-Masjid
Terdekat – Jika pengunjung membutuhkan tempat ibadah yang lebih besar,
beberapa masjid di sekitar kawasan Peukan Bada dapat menjadi alternatif,
seperti Masjid Baitul Makmur Peukan Bada yang berjarak sekitar 10 menit
dari lokasi kubah.
Perjalanan Menuju Kubah Masjid Al-Tsunami
Bagi mereka yang ingin mengunjungi lokasi ini,
perjalanan dari Masjid Raya Baiturrahman di pusat Kota Banda Aceh hanya memakan
waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan. Jalurnya melewati kawasan Ulee Lheue,
lalu mengikuti Jalan Banda Aceh-Calang hingga mencapai Polsek Peukan Bada. Dari
sana, hanya perlu berkendara sekitar 1,5 kilometer ke arah selatan hingga
menemukan papan penunjuk bertuliskan "Arah Menuju Kubah Gurah."
Bagi para peziarah dan wisatawan sejarah,
kunjungan ke tempat ini bukan hanya tentang melihat kubah yang terdampar. Ini
adalah perjalanan untuk mengenang, memahami, dan meresapi betapa dahsyatnya
kekuatan alam sekaligus kekuatan manusia dalam bangkit dari tragedi. Kubah
Masjid Al-Tsunami kini bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga monumen
harapan bagi masa depan.[]