Bandara
Sultan Iskandar Muda: Dari Jejak Sejarah Menuju Wajah Baru yang Mempesona
Pagi itu, aku
menatap langit Aceh yang biru bersih, sambil berdiri di ruang tunggu Bandara
Sultan Iskandar Muda. Angin AC yang sejuk tak mampu mengalahkan hangatnya
kenangan masa kecilku, ketika dulu Bapak mengajakku melihat pesawat dari pagar
besi di kejauhan. Kami akan menunggu hingga ekor pesawat itu lenyap di balik
awan, sambil Bapak berkata, “Itu namanya Garuda. Bangsa kita bangga padanya.”
Tak banyak yang
tahu, bahwa Aceh bukan sekadar tanah rencong dan serambi Mekah. Di balik
gemuruh sejarah dan kekayaan budayanya, Aceh juga pernah menjadi pelopor
penerbangan nasional. Indonesia Airways—cikal bakal Garuda Indonesia—pernah
lahir dari bumi ini, dari semangat rakyat Aceh yang tak hanya mengirimkan emas
untuk kemerdekaan, tapi juga menyumbang pesawat udara. Sebuah fakta yang nyaris
tak terdengar di antara gemerlap bising bandara-bandara besar negeri ini.
Bandara Sultan
Iskandar Muda di Blang Bintang, Aceh Besar, adalah saksi bisu dari perjalanan
panjang itu. Bandara ini mulanya hanyalah landasan pacu sederhana, dibangun
pada masa Belanda dan berkembang secara signifikan setelah kemerdekaan. Ia
sempat menjadi pangkalan militer, sebelum akhirnya dibuka untuk penerbangan
sipil pada 1990-an.
Namun, wajahnya
berubah drastis sejak awal 2000-an. Renovasi demi renovasi dilakukan—bukan
hanya mempercantik tampilan luar, tapi juga memperluas dan memodernisasi fungsi
dalam. Kubah megah yang menjulang di atas terminal baru memberi sentuhan Islami
yang kuat, seolah menyapa setiap tamu yang datang: “Selamat datang di Serambi
Mekah.”
Ruang tunggu
kini lebih nyaman, dengan langit-langit tinggi dan pencahayaan natural.
Lorong-lorongnya bersih dan rapi. Jalur keberangkatan dan kedatangan tertata
apik, lengkap dengan teknologi terbaru dan pelayanan yang semakin membaik.
Bandara ini kini bukan hanya gerbang ke dunia luar, tapi juga etalase pertama
wajah Aceh yang hangat dan bersahaja.
Entah mengapa
yang paling kusukai dari bandara adalah aroma khas roti Boy. Rasa manis
bercampur ragi menguar ke seluruh sudut ruang tunggu dan ruang antar keluarga
yang melewati jalur penerbangan. Tidak hanya aku kamu juga bukan?
Tapi di tengah
semua keindahan itu, ada kisah yang membuat hati terasa campur aduk. Seorang
anak Aceh, bernama Iskandar—ya, namanya sama dengan nama bandara kebanggaan
ini—akhirnya berhasil memiliki armada pesawat komersial. Ia merintisnya
sendiri, dengan mimpi besar dan langkah yang berani. Tapi ironisnya, bisnis itu
berbasis di Singapura. Entah apa alasannya—mungkin karena regulasi, mungkin
karena peluang, atau mungkin karena mimpi-mimpi di tanah sendiri tak selalu
mendapat tempat.
Rasa bangga pada
sosok Iskandar tak bisa dipungkiri. Tapi ada juga getir yang tak tertahankan.
Mengapa seorang putra Aceh harus membawa sayapnya terbang jauh dari tanah
kelahirannya? Mengapa tanah ini tak cukup untuk menampung impian sebesar itu?
Aku sering
membayangkan, bagaimana jika anak-anak Aceh hari ini ingin menapaki langit
dengan Garuda, tapi terhalang oleh mahalnya tiket? Padahal, bukankah semangat
Garuda itu dulu berakar dari tanah ini?
Mengenal Sosok
Iskandar
Iskandar, lahir
di Bireuen, Aceh, pada 7 April 1983, menempuh pendidikan di Universitas Syiah
Kuala (USK), Banda Aceh. Karier profesionalnya dimulai di Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pasca-tsunami. Setelah itu, ia melanjutkan
karier di sektor energi, perbankan, dan asuransi. Pada tahun 2015, Iskandar
mendirikan Calypte Holding Pte. Ltd., sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
energi terbarukan, pertanian, dan penerbangan, yang berbasis di Singapura.
Di bawah naungan
Calypte Holding, Iskandar meluncurkan Indonesia Airlines, sebuah maskapai
penerbangan premium yang berbasis di Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
Tangerang, Banten. Maskapai ini dirancang untuk menghadirkan pengalaman terbang
mewah ala jet pribadi dalam penerbangan komersial. Dalam tahap awal
operasionalnya, Indonesia Airlines akan mengoperasikan 20 pesawat, terdiri dari
10 pesawat berbadan ramping seperti Airbus A321neo atau A321LR, dan 10 pesawat
berbadan lebar seperti Airbus A350-900 dan Boeing 787-9.
Meskipun
Indonesia Airlines berbasis di Indonesia, keputusan Iskandar untuk mendirikan
Calypte Holding di Singapura menimbulkan pertanyaan. Beberapa spekulasi
menyebutkan bahwa faktor seperti birokrasi yang kompleks dan ketidakpastian
regulasi di Indonesia mungkin memengaruhi keputusan tersebut.
Kisah Iskandar mencerminkan semangat dan determinasi seorang putra daerah yang berhasil menembus industri penerbangan internasional. Namun, keputusan untuk mendirikan perusahaan induk di luar negeri juga mengundang refleksi tentang tantangan dan peluang yang dihadapi oleh pengusaha lokal dalam mengembangkan bisnis di tanah air. Hom kiban yang get. []