Sumber: takterlihat.com |
Oleh: Siti Hajar
Di antara peninggalan sejarah yang masih tegak
berdiri di Banda Aceh, terdapat sebuah monumen cinta yang megah namun sering
kali terlupakan: Gunongan. Gunongan bukan sekadar tumpukan batu yang
disusun dengan estetika, tetapi simbol kerinduan mendalam seorang putri kepada
kampung halamannya, dan wujud cinta luar biasa seorang raja kepada
permaisurinya.
Gunongan dibangun oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), penguasa terbesar Kesultanan Aceh, untuk istrinya yang berasal
dari Pahang, dikenal sebagai Putroe Phang. Sang permaisuri, yang dibawa
dari tanah Melayu setelah Aceh menaklukkan Pahang, hidup dalam kemewahan istana
kesultanan. Namun, di balik semua keagungan itu, ia menyimpan kerinduan yang
begitu dalam terhadap kampung halamannya di Yan, Kedah, Malaysia. Rasa rindu
ini bukan sekadar keinginan untuk pulang, tetapi kerinduan pada tanah
kelahirannya yang bergunung-gunung, berlembah hijau, dan berangin sejuk. Sultan
Iskandar Muda, yang mencintai istrinya dengan segenap jiwa, ingin mengobati
kerinduannya dengan menghadirkan sedikit suasana Pahang di jantung ibu kota
Aceh.
Maka, dibangunlah Gunongan, sebuah struktur
arsitektur berbentuk menyerupai perbukitan kecil, dengan tangga-tangga menuju
puncak, dikelilingi taman yang indah. Bangunan ini menjadi tempat bermain dan
bersantai bagi Putroe Phang, tempatnya melepas rindu akan kampung halaman,
seolah berada di tanah kelahirannya sendiri.
Dari segi arsitektur, Gunongan mencerminkan
pengaruh Melayu-Islam yang kuat, dengan bentuknya yang menyerupai mahligai
kecil. Struktur ini dibuat dari batu putih yang kokoh, dengan pahatan dan
relief yang menunjukkan kemegahan istana masa lalu. Bangunan ini terdiri dari
beberapa tingkatan, yang memungkinkan Putroe Phang menikmati pemandangan di
sekitarnya dari berbagai sudut, seperti ia sedang berada di puncak bukit di
negerinya yang jauh.
Gunongan taman kerajaan yang diperuntukkan bagi
para perempuan bangsawan Aceh. Di sekitar Gunongan juga terdapat Pinto Khop,
sebuah gerbang kecil yang menjadi pintu masuk dari dalam istana ke taman ini.
Gerbang ini menjadi saksi bisu perjalanan para putri istana menuju taman yang
penuh dengan bunga dan kesejukan.
Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai siapa
arsitek utama Gunongan, beberapa sumber menyebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda
mendatangkan ahli arsitektur dari Turki, Tiongkok, dan India untuk membangun
struktur ini. Hal ini menunjukkan pengaruh berbagai budaya dalam desain
arsitektur Gunongan, mencerminkan kemegahan dan keragaman budaya pada masa itu.
Informasi spesifik mengenai renovasi atau
pemugaran Gunongan tidak banyak tersedia dalam sumber yang ada. Namun, sebagai
situs bersejarah yang penting, kemungkinan besar pemerintah setempat telah
melakukan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian bangunan ini. Misalnya,
terdapat informasi mengenai proses revitalisasi Taman Sari Gunongan yang sedang
berlangsung, yang menunjukkan perhatian terhadap pemeliharaan situs ini.
Saat ini , gunongan berfungsi sebagai objek wisata
budaya dan sejarah yang menarik di Banda Aceh. Pengunjung dapat menikmati
keindahan arsitektur dan memahami sejarah serta makna di balik pembangunannya.
Lokasinya yang strategis di pusat kota memudahkan akses bagi wisatawan yang
ingin mengenal lebih jauh tentang warisan budaya Aceh.
Gunongan ini terletak di pusat Kota Banda Aceh,
tepatnya di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, di Jalan Teuku Umar.
Dengan lokasinya yang mudah dijangkau dan nilai sejarah yang tinggi, Gunongan
menjadi salah satu destinasi yang patut dikunjungi bagi mereka yang tertarik
pada sejarah dan budaya Aceh.
Sejarah Gunongan tidak banyak ditulis secara
mendetail dalam naskah-naskah kuno, namun keberadaannya disebut dalam beberapa
sumber sebagai bukti nyata kecintaan Sultan Iskandar Muda kepada istrinya.
Monumen ini bukan hanya sekadar tempat bermain seorang ratu, tetapi juga bukti
bahwa cinta bisa diwujudkan dalam bentuk yang abadi. Hingga kini, Gunongan
masih tegak berdiri, menyimpan kisah asmara seorang raja dan permaisurinya yang
melewati batas waktu.
Meski zaman berubah dan banyak yang melupakan kisahnya, Gunongan tetap menjadi saksi bisu bahwa cinta sejati tak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dalam keabadian. Ia bukan sekadar warisan budaya, tetapi simbol bahwa cinta bisa membangun sesuatu yang melampaui zaman, sesuatu yang tetap bercerita meski suara mereka telah lama hilang dalam sejarah. []